Selasa, 18 Mei 2010

berburu ilmu tak kenal waktu (Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf)


“Belajar ilmu itu kepada siapa saja tidak apa-apa, asalkan sang guru menguasai bidang yang diajarkan dan orangnya shalih.”

Kini kita sulit menemukan tokoh-tokoh ulama yang keseriusan, kesungguhan, dan kerajinannya dalam menimba ilmu seperti pendahulu-pendahulu mereka di masa lalu. Seandainya ada pun, bisa dihitung dengan jari. Habib Umar bin Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, pemimpin Ma`had dan Majelis Ta’lim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi, adalah satu di antara mereka yang sedikit itu.


Ia, yang biasa dipanggil Ustadz Umar oleh murid-muridnya, lahir pada tanggal 11 Oktober 1949 di daerah Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Ayahnya tokoh yang sangat dikenal, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, pendiri madrasah Ats-Tsaqafah Al-Islamiyyah. Sedangkan ibunya seorang wanita shalihah, Hajjah Barkah.

Semua saudaranya yang laki-laki, Habib Muhammad, Habib Ali, Habib Alwi, dan Habib Abu Bakar, sejak muda hingga kini juga berkiprah dalam bidang dakwah dan pendidikan umat.

Sejak kecil Ustadz Umar telah dididik oleh ayahnya dengan keras. Setiap habis ashar ia menyuruhnya membaca qashidah Al-Burdah seluruhnya sampai datang waktu maghrib. Sesudah itu membaca ratib dan belajar Al-Quran hingga waktu isya tiba. Ia juga belajar berbagai kitab kepada ayahnya. Selain kepada sang ayah, ia pun belajar Al-Quran kepada ibunya.

Bahasa Inggris

Dasar-dasar ilmu agama pertama-tama diperolehnya di madrasah sang ayah. Selain di madrasah, ia juga bersekolah di SD Bukit Duri Puteran Pagi II, yang diselesaikannya tahun 1964.

Selesai SD, ia tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan sekolah meskipun memiliki keinginan belajar yang sangat kuat. Namun hal itu tidak mematahkan tekadnya untuk menuntut ilmu, demi masa depannya. Karenanya, ia terus belajar dan mencari jalan agar bisa mendapatkan tambahan ilmu.

Maka mulailah ia mengikuti kursus bahasa Inggris di Diponegoro, di daerah Kramat, Jakarta Pusat, dan kemudian di Masjid Arif Rahman Hakim, Salemba, Jakarta Pusat. Ia sungguh-sungguh serius ingin menguasai bahasa Inggris. Karena itu, setelah tidak lagi mengikuti kursus, ia mendatangkan guru privat ke rumah.

Guru privatnya yang pertama adalah seorang pengajar senior yang sudah agak tua, bernama Umar Ba`syin, seorang Hadhrami yang ahli bahasa Inggris. Tak kurang dari delapan tahun Ustadz Umar menimba ilmu kepadanya.

Setelah tidak lagi belajar kepada Umar Ba`syin, ia mendatangkan seorang guru berkebangsaan Irlandia yang tinggal di daerah Menteng Atas. Tetapi Ustadz Umar hanya dapat belajar sekitar setahun kepadanya.

Ia juga mengikuti privat bahasa Belanda kepada seorang Jawa Katholik yang kemudian masuk Islam, Mr. Poniman. Sedangkan gurunya ini belajar tentang aqidah, shalat, dan lain-lain kepadanya. Agak lama Ustadz Umar menimba ilmu darinya. Meski tidak sampai menguasai, cukup banyak peribahasa bahasa Belanda yang dihafalnya. Ketika anak-anaknya masih kecil, kepada mereka ia ajarkan peribahasa-peribahasa itu, sehingga mereka hafal. Sekarang, ia ajarkan kepada cucu-cucunya. “Buat gagah-gagahan saja,” katanya bergurau.

Berbagai cara dilakukan Ustadz Umar untuk mendapatkan biaya kursus. Salah satunya berjualan koran, yang dijalaninya kurang lebih dua tahun. Ia pun mendapatkan tambahan penghasilan dengan berjualan di pengajian mingguan kaum ibu. Bermacam barang dagangan ia sediakan. Ketekunan belajar bahasa juga membantunya mendapatkan tambahan biaya. Dengan kemampuannya, ia dapat mengajarkan bahasa Inggris kepada orang-orang lain.

Ilmu Agama


Sejak lulus SD, telah tumbuh keinginan yang kuat dalam diri Ustadz Umar untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Setiap Jum’at pagi dan Ahad pagi, ia pergi menuntut ilmu kepada Habib Muhammad Al-Haddad di Al-Hawi, Cililitan, Jakarta Timur. Ia belajar bersama santri-santri Habib Muhammad.

K.H. R. Abdullah bin Nuh, ulama terkemuka dan ahli bahasa Arab, juga salah seorang gurunya. Ia pula yang kemudian mengganti nama majelis Ustadz Umar menjadi Al-Kifahi Ats-Tsaqafi (Perjuangan Kultural) setelah sebelumnya Ustadz Umar menamainya Najahuth-Thalibin. Pertama kali Ustadz Umar belajar kepadanya adalah di kediamannya di Gang Lontar, Percetakan Negara, Jakarta Pusat.

Kira-kira setahun mengaji di sini, sang guru pindah ke daerah Sumur Batu, Cempaka Putih, masih di Jakarta Pusat. Maka ia pun pindah mengaji ke sana. Nurul-Yaqin, Al-Hushunul Hamidiyah, dan Qawaid Al-Lughah Al-`Arabiyyah adalah kitab-kitab yang ia baca kepadanya.

Untuk mendapatkan keberkahan dalam belajar, sejak muda Ustadz Umar selalu menjaga adab terhadap guru-gurunya dan berusaha melakukan apa saja yang dapat membuat mereka ridha kepadanya. Di rumah K.H. Abdullah bin Nuh yang sangat sederhana, misalnya, ia tak segan-segan memompa air untuk mengisi kolam meskipun tidak disuruh. Sungguh suatu teladan yang baik dan patut ditiru oleh mereka yang ingin meraih keberkahan dan keridhaan guru.

Baru setahun mengaji di Sumur Batu, K.H. Abdullah bin Nuh pindah ke Kota Paris, Bogor. Bagi orang yang semangatnya biasa-biasa saja, mungkin mengajinya akan langsung berhenti dengan pindahnya sang guru ke tempat yang cukup jauh. Tetapi semangatnya yang luar biasa membuatnya ingin tetap mengaji dan K.H. Abdullah bin Nuh pun tak keberatan. Ia diberi waktu mengaji malam Ahad dan diminta datang Sabtu sore. Sayangnya, karena kondisi fisik sang guru yang tak memungkinkan, pengajian ini hanya berlangsung beberapa kali dan tidak dapat dilanjutkan.

Ustadz Mahmud Bahfen, dosennya di Universitas Muhammadiyah, juga ia datangi. Kepadanya ia mempelajari tarikh dengan membaca kitab Tarikh Al-Khulafa’, karya As-Suyuthi.

Sepulangnya belajar dari tempat Ustadz Mahmud Bahfen, ia langsung mengaji lagi kepada Habib Husain Al-Habsyi di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Kepada wartawan senior ini, ia mempelajari kitab An-Nashaih Ad-Diniyyah dan surat kabar-surat kabar berbahasa Arab. Namun karena kondisi Habib Husain yang sudah sakit, masa belajarnya kepadanya tidaklah lama.

Pada awal 1970-an Ustadz Umar mengikuti kuliah di Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah, Jakarta. Kemampuannya yang bagus dalam bahasa Inggris sangat membantunya dalam mengikuti kuliah dan membuatnya disenangi para dosen dan teman-temannya. Apalagi ia juga menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama dengan baik.
Berkat kesungguhannya, pada tahun 1976 ia dapat menyelesaikan kuliah hingga sarjana muda. Hal itu melengkapi kebahagiaannya, karena tahun sebelumnya, tepatnya pada 12 Februari 1975, ia telah diangkat sebagai pegawai negeri dan ditempatkan sebagai guru.
Jum’at 3 Desember 1976, Ustadz Umar resmi menjadi suami gadis idaman hatinya yang sekaligus muridnya di madrasah Ats-Tsaqafah, Muslihah namanya, yang kemudian dikenal sebagai Ustadzah Hj. Muslihah dengan panggilan akrab Ummi Mus. Sejak awal pernikahan, sang istri telah sangat berperan dalam melancarkan dan memberikan dorongan kepadanya untuk menimba ilmu dari satu guru ke guru yang lain.

K.H. Ahmad Djunaidi

Setelah ia menikah, guru pertamanya yang kemudian menjadi guru utamanya adalah K.H. Ahmad Djunaidi. Awal kisah mengajinya tergolong unik. Hingga satu hari sebelum mulai mengaji, ternyata ia belum pernah melihatnya. Ia hanya pernah diceritai oleh seorang muridnya bernama Alimin bahwa ada seorang ulama asal Pedurenan, Jakarta Selatan, yang sangat alim, K.H. Ahmad Djunaidi.
Mendengar cerita Alimin, Ustadz Umar menjadi penasaran dan tertarik. Maka di hari itu, Ahad malam Senin, 5 Desember 1976, di hari walimah pernikahannya, ia segera minta ditemani oleh muridnya itu menuju rumah K.H. Ahmad Djunaidi. Pergilah mereka menuju kediamannya.
Sesampainya ia di sana, ternyata sang guru sedang mengajar di mushalla.

Setelah mendengarkan pengajiannya hingga selesai, ia segera menemuinya, memperkenalkan diri, dan menyatakan keinginannya untuk belajar.

K.H. Ahmad Junaidi langsung menerima dan mempersilakannya datang keesokan harinya.
Pagi harinya, Senin 6 Desember 1976, menjadi hari pertama Ustadz Umar belajar kepadanya yang terus ditekuninya setiap hari.

Demikianlah, bulan madu dan berguru bertemu dalam satu waktu. Hingga sang guru berpulang ke rahmatullah pada 23 Februari 1997, Ustadz Umar terus datang mengaji secara pribadi setiap hari mulai jam 6.00 sampai jam 8.00. Bahkan di saat sang guru sakit pun ia tetap datang, terkadang mengaji di kamarnya. Bayangkan, dua puluh tahun mengaji tanpa henti! Di zaman sekarang, ini suatu hal yang langka dan kelebihan yang istimewa.

Di antara kitab-kitab yang dibacanya kepada sang guru adalah Fathul Qarib, Tijan Ad-Darari, An-Nashaih Ad-Diniyyah, Ad-Da`watut-Tammah, Fathul Mu`in (sampai rub`ul mu`amalat, bagian muamalah), At-Tawsyih, Al-Mukhtar Asy-Syafi, Mizan Adz-Dzahab, Idhah al-Mubham, Syarah Ar-Rahbiyah, Mabadi Awwaliyah, As-Sullam, Al-Bayan, Al-Waraqat.

Ustadz Umar merasa puas mengaji kepadanya. Ia benar-benar mendapatkan ilmu yang ia harapkan. Yang juga membuatnya senang mengaji kepada Kyai Ahmad Djunaidi adalah, kalau ada masalah-masalah yang sulit dan belum terselesaikan ketika mengaji, sang guru tidak hanya menjawab sekenanya atau kira-kira, melainkan ditundanya dan beberapa hari kemudian ia tunjukkan jawabannya pada kitab-kitab yang ditelaahnya.
K.H. Ahmad Djunaidi adalah seorang ulama yang menguasai al-madzahibul arba`ah (madzhab fiqih yang empat), juga menguasai berbagai cabang ilmu keislaman. Ia pun mampu mengarang dalam bahasa Arab dengan sangat baik dan dapat membuat syair-syair yang bermutu. Sulit mencari ulama di Jakarta yang kualitasnya seperti dia.

Muallim Syafi`i Hadzami

Sepeninggal K.H. Ahmad Djunaidi, rasa hausnya akan ilmu tak menjadi sirna. Maka untuk memenuhi dahaganya akan ilmu ia memutuskan untuk mengaji kepada K.H. Muhammad Syafi`i Hadzami, seorang allamah yang juga tak diragukan penguasaan keilmuannya.

Maka segera ia mendatanginya dan menyatakan keinginannya untuk mengaji. Pada awalnya Ustadz Umar diberi waktu mengaji setiap Senin pagi. Pertama yang dibacanya kepada sang guru adalah kitab Fathul Mu`in bab munakahat (pernikahan), melanjutkan bacaannya kepada K.H. Ahmad Djunaidi.


Di hadapan Muallim Syafi`i Hadzami, Ustadz Umar selalu menjaga adab sebagaimana yang ditunjukkannya kepada K.H. Ahmad Djunaidi. Tidak pernah mendesak guru dengan pertanyaan yang sampai membuat guru menjadi tidak suka. Kalau memang masalah yang ditanyakan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dan kelihatannya kalau diteruskan akan membuatnya tidak senang, ia hentikan. Dalam kesempatan lain ia akan mencoba menanyakannya lagi. Tetapi seandainya tetap tidak bisa terpecahkan, ia akan menghentikannya sampai di situ dan tidak mengungkitnya lagi.

Setelah berlangsung sekitar tiga bulan, ia meminta tambahan waktu. Melihat kesungguhan dan akhlaqnya, Muallim tak keberatan memenuhi permintaannya dan memberikan waktu lagi pada hari Kamis dan kemudian ditambah lagi pada hari Selasa dan Sabtu. Jadi, seminggu ia mengaji empat kali kepadanya.

Demikianlah, akhirnya selama hampir sepuluh tahun ia terus mengaji berbagai kitab kepada Muallim Syafi`i Hadzami. Tentu banyak ilmu, kesan, dan pengalaman yang didapatnya. Hingga hari Sabtu tanggal 6 Mei 2006, ia tetap mengaji kepada sang guru dan itulah saat terakhir pertemuan dengannya. Karena keesokan paginya, 7 Mei 2006, K.H. M. Syafi`i Hadzami berpulang ke rahmatullah dalam perjalanan pulang dari mengajar di Masjid Ni`matul Ittihad Pondok Pinang, Jakarta Selatan.

Kesungguhan dan akhlaqnya terhadap guru membuat Ustadz Umar dicintai oleh Muallim Syafi`i Hadzami. Di berbagai tempat, ia sering memuji Ustadz Umar, baik kesungguhannya, ilmunya, maupun akhlaqnya. Bukan hanya mencintainya, Muallim juga menghormatinya.

Tidak Fanatik

Di samping belajar kepada beberapa habib, Ustadz Umar juga banyak menuntut ilmu kepada ulama yang bukan habib. Mengenai alasannya mengapa banyak belajar kepada ulama yang bukan habib, ia mengatakan, “Datuk-datuk kita (para habib di masa lalu) banyak belajar kepada para masyaikh (.........................
........). Jadi bukan hanya belajar kepada para habib. Belajar ilmu itu sama siapa saja, tidak apa-apa, asalkan sang guru menguasai bidang yang diajarkan dan juga orangnya shalih.
Itu dalam masalah ilmu. Sedangkan masalah keturunan berbeda. Karena itu, seseorang yang mencintai habaib tidak boleh pilih-pilih. Ia tidak boleh hanya cinta kepada habaib yang berilmu. Ia mempunyai kewajiban untuk mencintai semua habib, baik yang berilmu maupun tidak.”

Sebagian orang mungkin ada yang hanya mau belajar kepada habaib, atau ada juga yang hanya belajar kepada habaib dari keluarganya, tidak mau kepada habaib yang lain. Ada juga yang hanya mau belajar kepada kiai saja. Ada pula yang fanatik kedaerahan, sehingga maunya hanya belajar dengan orang yang sedaerah. Ustadz Umar tidak demikian. Ia berprinsip akan belajar kepada siapa saja dan dimana saja. Ia tidak mau fanatik ini, atau fanatik itu.

Mengajar dengan Penuh Kesungguhan

Selain serius belajar, ia pun bersungguh-sungguh dalam mengajar. Di madrasah ayahandanya, Ustadz Umar biasanya mengajar nahwu, fiqih, dan tauhid. Menjelang zhuhur sekembalinya dari mengajar, ia kembali ke rumah.

Sehabis zhuhur ia berangkat mengajar ke Slipi, tepatnya ke SDI Teladan. Ia mengajar di sini dalam kapasitasnya sebagai guru negeri, yang diangkat oleh Pemda DKI. Tahun 1975 ia telah diangkat menjadi PNS, yang terus dijalaninya hingga tahun 1992, saat mengajukan permohonan pensiun dini.
Di tahun-tahun awal pernikahannya, ia pun masih mengajar di Islamic Center, Kwitang, Jakarta Pusat, yang telah dijalaninya sejak tahun 1974. Yang mengajar di sini adalah para guru senior, di antaranya Syaikh Hadi Jawas dan Habib Syech Al-Musawa.

Mengembangkan Majelis

Di awal pernikahannya, Ustadz Umar juga mulai membuka majelis ta’lim hari Ahad di rumahnya. Murid-murid pengajiannya terus bertambah. Mulai hanya sekitar dua puluh atau tiga puluhan, terus meningkat, hingga sekarang mencapai ribuan orang. Barangkali pengajian kitabnya adalah pengajian kitab yang paling banyak jama’ahnya di Jakarta.

Ustadz Umar juga mengasuh santri-santri yang bermukim di tempatnya. Hanya saja, karena keterbatasan tempat, jumlah santri pun sengaja dibatasi, hanya 40 santri. Meski demikian, sejak awal, proses belajar-mengajar di Pesantren Al-Kifahi Ats-Tsaqafi ini dapat berjalan dengan stabil. Para santri merasa senang dengan apa yang mereka terima. Bukan hanya ilmu, tetapi juga perhatian dan kedekatan Ustadz Umar sekeluarga, terutama (almarhumah) Ummi Mus, yang membuat mereka merasa betah. Tercatat di antara yang pernah bermukim di sini adalah Habib Munzir Almusawa.

Keberhasilan Ustadz Umar mengelola majelis ta’lim dan pesantrennya memang tak terlepas dari sentuhan Ummi Mus. Ia benar-benar turun tangan mengurusi segalanya. Masalah makan santri, misalnya, diperhatikannya benar. Perhatian Ummi Mus kepada para santri bukan hanya dalam masalah makanan atau yang berkaitan dengan kegiatan belajar. Masalah-masalah pribadi pun tak luput dari perhatiannya. Beberapa santri yang kebetulan menikah di saat-saat mereka belajar atau setelah mengabdi di sini merasakan benar hal itu.

Tahun 2004 Ustadz Umar harus menghadapi ujian yang cukup berat. Pada suatu hari di bulan Oktober menjelang puasa, ia mendengar kabar yang sangat mengejutkan: Ummi Mus menderita kanker melanoma, kanker yang sangat ganas, sehingga harus mendapatkan penangan segera. Maka sejak itu Ustadz Umar terus mendampingi Ummi Mus berobat ke sana-kemari, baik medis maupun alternatif.
Meskipun tak dapat menyembunyikan kesedihannya yang hingga kini masih tersisa, Ustadz Umar merasa bersyukur. Karena, sejak istrinya sakit tahun 2004 hingga saat-saat terakhir kehidupan istrinya, ia dapat terus mendampinginya serta menunjukkan kesetiaan dan cintanya.

Sejak Ummi Mus menderita sakit, Ustadz Umar sangat bersedih. Dari waktu ke waktu ketika penyakitnya bertambah parah, kesedihan itu semakin bertambah. Bahkan, sejak sekitar dua setengah bulan atau tiga bulan menjelang sang istri meninggal dunia, ia sering menangis ketika mengajar. Juga sering tertidur dalam majelis karena kurang tidur, sebab selalu mendampingi sang istri.


Ustadz Umar pernah berujar, “Inilah saatnya untuk benar-benar menyenangkannya serta menunjukkan kesetiaan dan cinta saya setelah sekian lama ia mengabdi kepada saya. Sekarang ia terbaring sakit, saya mesti menyenangkannya.”


Pada Jum’at malam Sabtu tanggal 26 September 2008, Ummi Mus memenuhi panggilan Allah Ta`ala, meninggalkan kenangan yang sangat indah di hati Ustadz Umar dan anak-anaknya yang tak mungkin terlupakan.

Jumat, 07 Mei 2010

Hijri and Gregorian calendar, Date conversion, Special Islamic days and events.

Hijri and Gregorian calendar, Date conversion, Special Islamic days and events.

Al-imam Al-Arif billah Al Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir Assegaf



Nasab Al Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf

Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Habib Abdurrahman ahir tahun 1908 di Cimanggu; beliau adalah putra Habib Ahmad bin AbdulQadir Assegaf. Ayahandanya sudah wafat ketika beliau masih kecil.tapi kondisi itu tidak menjadi halangan baginya untuk giat belajar.
Pernah mengenyam pendidikan di Jami'at Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memperihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya,Habib Ali bin Abdurrahman "Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, "Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu". Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar."
Ketika masih belajar di Jami'at Al-Khair, prestasinya sangat cemerlang. Beliau selalu menempati peringkat pertama. Nilainya bagus, akhlaqnya menjadi teladan teman-temannya. Untuk menuntut ilmu kepada seorang ulama, beliau tak segan-segan melakukannya dengan bersusah payah menempuh perjalanan puluhan kilometer. "Walid itu kalau berburu ilmu sangat keras. Beliau sanggup berjalan berkilo-kilo meter untuk belajar ke Habib Abdullah bin Muhsin Al-Aththas ( Habib Empang Bogor ),"
Selain Habib Empang, guru-guru Habib Abdurrahman yang lain adalah Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad ( Mufti Johor, Malaysia ), Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir AlHaddad, Habib Ali bin Husein Al-Aththas ( Bungur, Jakarta ), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi ( Kwitang, Jakarta ), K.H.Mahmud ( Ulama besar Betawi ) dan Prof.Abdullah bin Nuh ( Bogor ).
Semasa menunutut ilmu, Habib Abdurrahman sangat tekun dan rajin, itulah sebabnya beliau mampu menyerap ilmu yang diajarkan guru-gurunya. Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai semua bidang ilmu agama. Kemampuan berbahasa yang baguspun mengantarnya menjadi penulis dan orator yang handal. Beliau tidak hanya sangat menguasai bahasa Arab, tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Habib Abdurrahman tidak sekadar disayang oleh para gurunya, tapi lebih dari itu, beliau pun murid kebanggaan. Beliaulah satu-satunya murid yang sangat menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang seharusnya digunakan untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim disebut "kitab kuning". Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu pada pemahaman Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari segi tata bahasa.
Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Disinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik ( dari seruling sampai terompet ), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Belakangan, ketika berusia 20 tahun, beliau pindah ke Bukit Duri dan berbekal pengalaman yang cukup panjang, beliaupun mendirikan madrasah sendiri, Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang hingga sekarang masih eksis di Bukit Duri, Jakarta. Sebagai madrasah khusus, sampai kini Tsaqafah Islamiyah tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri dan uniknya, Madrasah ini menggunakan buku-buku terbitan sendiri yang disusun oleh sang pendiri, Habib Abdurrahman Assegaf.. Disini, siswa yang cerdas dan cepat menguasai ilmu bisa loncat kelas.
Dunia pendidikan memang tak mungkin deipisahkan dari Habib Abdurrahman, yang hampir seluruh masa hidupnya beliau baktikan untuk pendidikan. Beliau memang seorang guru sejati. Selain pengalamannya banyak, dan kreativitasnya dalam pendidikan juga luar biasa, pergaulannya pun luas.terutama dengan para ulama dan kaum pendidik Jakarta.
Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyak guru. Sebab ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan.
"Beliau konsisten dan tegas dalam mendidik anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau meninggalkan harta sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong anak-anaknya agar mencintai ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin kami konsisten mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri dengan urusan politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji dan sebagainya. Jadi, sekalipun tidak besar, ya....sedikit banyak putra-putrinya bisa mengajar," kata Habib Umar merendah.
Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang; diantaranya Habib Muhammad, pemimpin pesantren di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majlis Taklim Zaadul Muslim di Bukit Duri; Habib Umar, memimpin pesantren dan Majlis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukit Duri dan Habib Abu Bakar, memimpin pesantren Al-Busyro di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang.
Sebagai Ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari Tauhid, Tafsir, Akhlaq, Fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab- dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain, Hilyatul Janan fi Hadyil Qur'an, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bunyatul Umahat dan Buah Delima. Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah.
Habib Abdurrahman juga dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin, sederhana dan ikhlas. Dalam hal apapun beliau selalu mementingkan kesederhanaan. Dan kedisiplinannya tidak hanya dalam hal mengajar, tapi juga dalam soal makan. "Walid tidak akan pernah makan sebelum waktunya. Dimanapun ia selalu makan tepat waktu." Kata Habib Ali.
Mengenai keikhlasa dan kedermawanannya, beliau selalu siap menolong siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada tahun 1960-an, Habib Abdurrahman menga;lami kebutaan selama lima tahun. Namun musibah itu tak menyurutkan semangatnya dalam menegakkkan syiar islam. Pada masa-masa itulah beliau menciptakan rangkaian syair indah memuji kebesaran Allah swt dalam sebuah Tawasul, yang kemudian disebut Tawasul Al-Walid Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Sebagai Ulama besar, Habib Abdurrahman juga dikenal memiliki karomah. Misalnya, ketika beliau membuka Majlis Taklim Al-Buyro di Parung Banteng Bogor sekitar tahun 1990, sebelumnya sangat sulit mencari sumber air bersih di Parung Banteng Bogor. Ketika membuka majlis Taklim itulah, Habib Abdurrahman bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari 40 malam, mohon petunjuk lokasi sumber air. Pada hari ke 41, sumber belum juga ditemukan. Maka Habib Abdurrahman pun meneruskan munajatnya.
Tak lama kemudian, entah darimana, datanglah seorang lelaki membawa cangkul. Dan serta merta ia mencangkul tanah dekat rumah Habib Abdurrahman. Setelah mencangkul, ia berlalu dan tanah bekas cangkulan itu ditinggal, dibiarkan begitu saja. Dan, subhanallah, sebentar kemudia dari tanah bekas cangkulan itu merembeslah air. Sampai kini sumber air bersih itu dimanfaatkan oleh warga Parung Banteng, terutama untuk keperluan Majelis Taklim Al-Busyro. Menurut penuturan Habib Abdurrahman, lelaki pencangkul itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.